- Back to Home »
- Fiqih Muamalah »
- HARTA (AMWAL)
Posted by :
Asih Kurnia Dewi
Kamis, 26 September 2013
HARTA
(AMWAL)
A. PENGERTIAN HARTA
Menurut
etimologi, harta adalah:
كُلُّ مَا يَقْتَضِ وَيَحُوْ زُهُ الاْءِنْسَانُ بِا
لْفِعْلِ سَوَاءٌ اَكَا نَ عَيْنًا اَوْمَنْفَعَةً كَذَهَبٍ اَوْفِضَّةٍ
اَوْحَيَوَانٍ اَوْنَبَا تٍ اَوْمَنَا فِعِ ا لثَّيْءِ كَا لرُّكُوْبِ وَا
للُّبْسِ وَالسُّكْنَ.
Artinya:
“Sesuatu yang
dibutuhkan dan diperoleh manusia, baik berupa benda yang tampak seperti emas,
perak, binatang, tumbuh-tumbuhan, maupun (yang tidak tampak), yakni manfaat
seperti kendaraan, pakaian, dan tempat tinggal.”
Sesuatu
yang tidak dikuasai manusia tidak bisa dinamakan harta menurut bahasa, seperti
burung di udara, ikan di dalam air, pohon di hutan dan barang tambang yang ada
dibumi.
Dalam
bahasa Arab, harta disebut dengan sebutan al-mal yang mempunyai arti condong,
cenderung, dan miring. Manusia cenderung ingin memiliki dan
menguasai harta. Adapun harta menurut istilah ahli fiqih terbagi menjadi dalam
dua pendapat yaitu:
- Menurut Ulama Hanafiyah
اَلْمَا لُ كُلُّ مَا يُمْكِنُ حِيَا زَ تُهُ وَ
اِخْرَازُهُ وَ يُنْتَفَعُ بِهِ عَا دَةً.
Artinya:
“Harta adalah segala
sesuatu yang dapat diambil, disimpan, dan dapat di manfaatkan.”
Menurut
definisi ini, harta memiliki dua unsur:
a. Harta dapat dikuasai dan dipelihara
Sesuatu
yang tidak disimpan atau dipelihara secara nyata, seperti ilmu, kesehatan,
kemuliaan, kecerdasan, udara, panas matahari, cahaya bulan, tidak dapat
dikatakan harta.
b. Dapat dimanfaatkan menurut kebiasaan
Segala
sesuatu yang tidak bermanfaat sepeti daging bangkai, makanan yang basi, tidak
dapat disebut harta, atau bermanfaat, tetapi menurut kebiasaan tidak
diperhitungkan manusia, seperti satu biji gandum, setetes air, segenggam tanah,
dan lain-lain. Semua itu tidak disebut dengan harta sebab terlalu sedikit
sehingga zatnya tidak dapat dimanfaatkan, kecuali kalau disatukan dengan hal
lain.
- Pendapat Jumhur Ulama Fiqih selain Hanafiyah
كُلُّ
مَا لَهُ قِيْمَةُ يَلْزَ مُ مَتْلَفُهُ بِضَمَا نِهِ
Artinya:
“Segala sesuatu yang
bernilai dan mesti rusaknya dengan menguasainya”.
Pengertian ini
merupakan pengertian umum yang dipakai dalam undang-undang modern, yakni:
كُلُّ
ذِيْ قِيْمَةٍ مَا لِيَةٍ
Artinya:
“Segala yang bernilai
dan bersifat harta”.
Ulama
Hanafiyah memandang bahwa manfaat termasuk sesuatu yang dapat dimiliki, tetapi
bukan harta. Adapun menurut ulama selain Hanafiyah, manfaat termasuk harta
sebab yang penting adalah manfaatnya dan bukan zatnya. Pendapat ini lebih umum
di gunakan oleh kebanyakan manusia.
Manfaat
yang dimaksud pada pembahasan ini adalah faedah atau kegunaan yang dihasilkan
dari benda yang tampak, seperti mendiami rumah atau mengendarai kendaraan.
Adapun
hak, yang ditetapkan syara’ kepada seseorang secara khusus sebagai dampak dari
penguasaan sesuatu, terkadang dikaitkan dengan harta, seperti hak milik, hak
minum, dan lain-lain. Akan tetapi, terkadang tidak dilakukan dengan harta
seperti hak mengasuh, dan lain-lain.
Ulama’
Hanafiyah sebagaimana memandang manfaat, berpendapat bahwa hak yang dikaitkan
dengan hartapun tidak dikatakan harta sebab tidak mungkin menyimpan dan
memelihara zatnya. Ulama selain Hanafiyah berpendapat bahwa hak milik dan
manfaat dapat dipandang sebagai harta sebab dapat dikuasai dengan cara
menguasai pokoknya. Selain itu, kemanfaatan adalah maksud dari harta. Jika
tidak memiliki manfaat, manusia tidak mungkin mencari dan mencintai harta
tersebut. Perbedaan pendapat di atas, berdampak pada perbedaan dalam menetapkan
beberapa ketetapan yang berkaitan dengan hukum, terutama dalam hal gasab,
persewaan, dan waris.
Jika ditelaah secara
seksama, setiap barang akan memiliki alasan sebagaiman di kemukakan oleh ulama
Hanfiyah, yakni dibutuhkan oleh pemiliknya dan akan menimbulkan pertentangan
bila di gasab. Oleh karena itu, pada dasarnya setiap orang yang meng-gasab semestinya
bertanggung jawab atas manfaat yang diambil dari benda tersebut. Berkenaan
dengan hak, seperti hak dalah Khiyar syarat dan ru’yah, menurut ulama Hanafiyah
tidak dapat diwariskan, sedangkan menurut ulama selain Hanafiyah dapat
diwariskan.
B. KEDUDUKAN HARTA DAN ANJURAN UNTUK BERUSAHA DAN
MEMILIKINYA
Dalam
Al-Qur’an dan Hadist, cukup banyak ayat atau hadist yang membicarakan harta.
Pada bahasan ini hanya akan dikemukakan sebagian kecil saja tentang kedudukan
harta menurut Al-Qur’an dan Hadist, serta anjuran untuk berusaha dan
memilikinya.
- Kedudukan Harta dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah
a. Dalam Al-Qur’an
1)
Harta Sebagai
Fitnah:
إِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ ۚ وَاللَّهُ
عِندَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ
Artinya:
“Sesungguhnya hartamu
dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang
besar.” (Q.S. At-Taghabun: 15).
2)
Harta sebagai
Perhiasan:
الْمَالُ
وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۖ
Artinya:
“Harta dan anak-anak
adalah perhiasan kehidupan dunia.” (Q.S. Al-Kahfi: 46)
3)
Harta untuk
Memenuhi kebutuhan dan mencapai kesenangan:
زُيِّنَ
لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنطَرَةِ
مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ
ۗ ذَٰلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۖ وَاللَّهُ عِندَهُ حُسْنُ الْمَآبِ
Artinya:
“Dijadikan indah
pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita,
anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan,
binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia,
dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (Q.S. Ali Imran:
14)
b. Dalam As-Sunnah
1)
Kecelakaan bagi
Penghamba pada harta:
تَعِسَ
عَبْدُ الدِّيْنَا رِ وَعَبْدُ اْ لخَمِيْصَةِ اِنْ أُعْطِيَ رَ ضِيَ وَ اِ نْ
لَمْ يُعْطَ سَخِطَ تَعِسَ وَانْتَكَسَ وَ اِذَا شِيْكَ فَلاَانْتَقَشَ.
Artinya:
“Celakalah orang yang
menjadi hamba dinar (uang), orang yang menjadi hamba dirham, orang yang menjadi
hamba toga atau pakaian, jika diberi ia bangga, bila tidak diberi ia marah,
mudah-mudahan dia celaka dan merasa sakit, jika dia kena suatu musibah dia
tidak akan memperoleh jalan keluar”. (H.R. Bukhari).
2)
Penghambat harta
adalah orang terkutuk:
لُعِنَ
عَبْدُ الدِّيْنَا رِ لُعِنَ عَبْدُالدِّرْهَمِ.
Artinya:
“Terkutuklah orang yang
menjadi hamba dinar dan terkutuk pula orang yang menjadi hamba dirham”.
(H.R. Tirmidzi).
- Anjuran Untuk Memiliki Harta dan Giat Berusaha
Ada
beberapa dalil baik dari Al-Qur’an maupun hadis yang dapat dikategorikan
sebagai isyarat bagi umat Islam untuk memiliki kekayaan dan giat dalam berusaha
supaya memperoleh kehidupan yang layak dan mampu melaksanakan semua rukun Islam
yang hanya diwajibkan bagi umat Islam yang mempunyai harta atau kemampuan dari
segi ekonomi. Sementara itu, harta kekayaan tidak mungkin datang sendiri,
tetapi harus dicapai melalui usaha. Diantara dalil-dalil tersebut adalah
sebagai berikut.
a.
Para Nabi
berusaha sendiri untuk bekal hidup
Allah
SWT., menyatakan bahwa para Nabi berusaha sendiri, tidak menggantungkan kepada
orang lain. Seperti Nabi Daud a.s. yang diceritakan dalam Al-Qur’an:
وَلَقَدْ آتَيْنَا دَاوُدَ مِنَّا فَضْلًا ۖ يَا جِبَالُ
أَوِّبِي مَعَهُ وَالطَّيْرَ ۖ وَأَلَنَّا لَهُ الْحَدِيْدَ أَنِ اعْمَلْ سَابِغَاتٍ وَقَدِّرْ فِي السَّرْدِ ۖ وَاعْمَلُوا
صَالِحًا ۖ إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌَ
Artinya:
“Dan sesungguhnya telah Kami berikan kepada Daud kurnia dari Kami.
(Kami berfirman): "Hai gunung-gunung dan burung-burung, bertasbihlah
berulang-ulang bersama Daud", dan Kami telah melunakkan besi untuknya,
(yaitu) buatlah baju besi yang besar-besar dan ukurlah anyamannya; dan
kerjakanlah amalan yang saleh. Sesungguhnya Aku melihat apa yang kamu kerjakan.”(Q.S. Saba’: 10-11)
Dalam Al-Quran pun disinggung pula perihal Nabi Nuh a.s. membuat
kapal (QS. Hud: 37,38) dan Nabi Musa a.s. menggembalakan domba selama dua puluh
tahun sebelum diutus menjadi rasul di negeri Madyan. Kita juga mengetahui dari
sejarah bahwa Nabi Muhammad SAW., dari kecil sudah menggembalakan domba,
kemudian berniaga untuk Siti Khadijah. Padahal mereka adalah para Nabi yang
suci, bergelar ulul azmi , tetapi mereka berusaha sendiri untuk memenuhi
kehidupannya.
b.
Anjuran
memanfaatkan dan memakan rezeki Allah SWT
هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ ذَلُولًا فَامْشُوا
فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِن رِّزْقِهِ ۖ
Artinya: “Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah
bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari
rezeki-Nya.” (QS. Al-Mulk: 15)
c.
Rasulullah SAW. Menyuruh
umatnya untuk bekerja
لاَءَنْ يَأْ خُذَ أَحَدُ كُمُ اْ لحَبْلَةَ فَيَأْ تِى
بِحَزْ مَةٍ مِنْ حَطَبٍ عَلَى ظَهْرِهِ فَيُبَيِّعُهَا فَيَكْفِى اللَّهُ بِهَا
وَ خْهَهُ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ النَّا سَ أَعْطُوْهُ أَمْ مَنَعُوْ هُ.
Artinya:
“Seseorang yang mengambil tali untuk mengikat kayu bakar, kemudian memanggul
dipundaknya untuk dijual kepada manusia, sehingga Allah mencukupinya adalah
lebih baik daripada meminta-minta kepada manusia, yang kemungkinan akan
memberinya atau menolaknya.”
d.
Perintah
menunaikan zakat
Apabila
shalat diibaratkan adalah tiang agama, zakat adalah jembatannya. Begitu pula
dalam hadis terdapat keterangan tentang macam-macam dan pembagian zakat harta. Di
samping itu, dalam Islam pun ada zakat yang diwajibkan kepada setiap manusia,
yakni zakat fitrah. Zakat itu mungkin dapat dipenuhi oleh mereka yang tidak
memiliki harta atau tidak giat dalam berusaha.
e.
Nabi SAW. Sering
berdoa agar dilapangkan rezeki
Misalnya
ketika berwudhu sebagaimana dinyatakan dalam hadis dari Abu Hurairah:
اَللَّهُمَّ
ا غْفِرْ لِى فِى ذَنْبِى وَوَسِّعْ لِى فِى دَارِىْ وَبَارِك لَى فِى رِزْ قِى.
فَسُئِلَ: مَا أَكْثَرَ مَا تَدْ عُوْ بِهَذِهِ الدَّ عَوَاتِ، يَا رَسُوْلَ
اللَّهِ. قَا لَ: وَهَلْ تَرَكْنَ مِنْ شَىْءٍ؟
Artinya:
“Ya Allah, ampunilah dosaku, lapangkanlah rumahku, kemudian beliau ditanya,
“Alangkah banyaknya yang engkau minta dengan doa tersebut ?” Lalu beliau
menjawab, “Apakah kita meninggalkan salah satunya ?” (HR. Thabrani)
Selain
itu, masih banyak doa dan zikir yang diajarkan Rasulullah SAW., yang intinya
memohon agar dimudahkan dalam berusaha dan mendapatkan rezeki, seperti doa:
اَللَّهُمَّ
إِنِّى أَسْأَلُكَ الْهُدَى وَا لتُّقَى وَا لْعَفَا فَ وَا لْغِنَى.
Artinya:
“Ya Allah, aku memohon kepada-Mu atas petunjuk ketakwaan iffah (dijauhkan dari
hal-hal yang tidak halal), dan kekayaan.” (HR. Muslim, Turmudzi, dan Ibnu Majah
dari Ibn Mas’ud)
Begitu
pula doa Rasulullah SAW., agar dijauhkan dari kefakiran, karena kefakiran dapat
menyebabkan kekufuran:
ااَللَّهُمَ
إِنِّى أَعُوْذُ بِكَ مِنَ ا لْكُفْرِ وَا لْفَقْرِ قَا لَ رَ جُلٌ أَيَعْدِ لاَنِ
؟ قَا لَ: نَعَمْ.
Artinya:
“Ya Allah, aku berlindung kepadamu dari kekufuran dan kefakiran, seorang laki-laki
berkata, apakah keduanya seimbang? Rasulullah SAW., menjawab, Ya.”
f.
Nabi SAW. Pernah melarang menyalati orang
berutang
Rasulullah
SAW., pernah melarang shalat jenazah terhadap orang yang meninggalkan utang,
tetapi tidak meninggalkan harta untuk melunasinya:
عَنْ
أَبِى هُرَيْرَةَ ر.ع. اَنَّهُ ص.م. كَا نَ يَمْتَنِعُ عَنِ الصَّلاَةِعَمَّنْ
مَاتَ وَعَلَيْهِ دَيْنٌ لَمْ يَتَرُكْ لَهُ وَفَاءٌ.
Artinya:
“Dari Abu Hurairah r.a bahwasannya Rasulullah SAW., melarang kami untuk
menyalati orang meninggal dunia yang mempunyai utang, tetapi tidak meninggalkan
harta untuk membayar utangnya.”
يُغْفَرُلِشَّهِيْدِ
كُلُّ ذَنْبٍ اِلاَّ ا لدَّيْنُ.
Artinya:
“Semua dosa orang yang mati syahid diampuni kecuali utang.” (HR. Muslim
dan Ibnu Umar)
C. FUNGSI HARTA
Fungsi
harta bagi manusia sangat banyak sekali. Harta dapat menunjang kegiatan
manusia, baik dalam kegiatan yang baik maupun dalam kegiatan buruk. Oleh karena
itu, manusia selalu berusaha untuk memiliki dan menguasainya. Tidak jarang
dengan memakai beragam cara yang dilarang syara’ dan hukum Negara atau
ketetapan yang telah disepakati oleh setiap manusia.
Biasanya
cara memperoleh harta, akan berpengaruh terhadap fungsi harta. Seperti orang
yang memperoleh harta dengan cara mencuri, ia memfungsikan harta tersebut untuk
kesenangan semata, seperti mabuk, bermain wanita, judi, dan lain-lain.
Sebaliknya,
orang yang mencari harta dengan cara halal, biasanya memfungsikan atau
memanfaatkan harta tersebut dengan cara yang halal pula, biasanya memfungsikan
hartanya untuk hal-hal yang bermanfaat.
Dalam
pembahasan ini, akan dikemukakan fungsi harta yang sesuai dengan ketentuan
syara’, antara lain:
- Kesempurnaan ibadah mahzhah, seperti shalat memerlukan kain untuk menutupi aurat.
- Memelihara dan meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT. Sebagai kefakiran mendekatkan kepada kekufuran
- Meneruskan estafeta kehidupan, agar tidak meninggalkan generasi lemah
- Menyelaraskan antara kehidupan dunia dan kehidupan akhirat, Rasulullah SAW. Bersabda:
مَا
أَ كَلَ أَحَدٌ طَعَا مًا قَطُّ خَيْرًا مِنْ عَمَلِ يَدِهِ وَاِنَّ نَبِىَّ
اللَّهِ دَاوْدَ كَا نَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ.
“Tidaklah
seseorang itu makan walaupun sedikit yang lebih baik daripada makanan yang ia
hasilkan dari keringatnya sendiri. Sesungguhnya Nabi Allah, Daud, telah makan
dari hasil keringatnya sendiri” (H.R. Bukhari dari
Miqdam bin Madi Kariba).
Dalam
hadist lain dinyatakan:
لَيْسَ
بِخَيْرِ كُمْ مَنْ تَرَ كَ الدُّ نْيَا لِأَخِرَتِهِ وَلاَ اَخِرَ تَهُ لِدُ
نْيَا هُ حَتَّى يُصِيْبَ مِنْهُمَا خَمِيْعًا فَاِ نَّ الدُّ نْيَا بَلاَ غٌ
إِلَى الْأَ خِرَةِ.
“Bukanlah
orang yang baik bagi mereka, yang menimbulkan masalah dunia untuk masalah
akhirat, dan meninggalkan masalah akhirat untuk urusan dunia, melainkan
seimbang di antara keduanya, karena masalah dunia dapat menyampaikan manusia
kepada masalah akhirat”. (H.R. Bukhari).
- Bekal mencari dan mengembangkan ilmu
- Keharmonisan hidup bernegara dan bermasyarakat, seperti orang kaya yang memberikan pekerjaan kepada orang miskin.
teksnya ngak bisa saya cpy
BalasHapus